Jumat, 24 Februari 2012

Pentingkah kuliah ???



Pertanyaan yang selama ini benar-benar menjadi momok menakutkan adalah saat orang tua saya bertanya, “kapan kamu lulus kuliah?”. Satu kalimat seperti satu tusukan pedang di dada rasanya. Oke saya mengaku sebelumnya saya adalah mahasiswa jurusan akuntasi di salah satu universitas swasta di kota Semarang yang hanya ber IPK 2,4. Saya sudah berada di semester ke 9 di kampus saya yang menurut saya di puncak gunung jauhnya, bahkan skripsi baru saya ambil semester depan. Dan itu yang membuat pertanyaan itu kadang-kadang menjadi hal yang menakutkan jika diucapkan oleh orang tua saya. Ya saya tau, Ibu saya pasti sangat teramat menginginkan melihat anaknya memperoleh gelar sarjana. Tapi seharusnya Ibu saya juga tau seberapa jauh tempat kuliah saya, seberapa ribet tugas-tugas yang ada, dan yang terberat adalah bagaimana saya harus bangun pagi.


Beban tanggung jawab yang harus saya selesaikan dan itu semata untuk melihat orang tua saya bangga dan menitikan air mata ketika saya berkata “Mah, saya berhasil menjadi sarjana”. Demi mencapai itu saya rela menjalani perkuliahan yang menurut saya hanyalah formalitas dan hanya berguna pada saat saya menikah (maksudnya ketika dipanggil Eko Setiawan Cahyadi, S.E. kan terlihat lebih keren tuh.. >.<). Maaf bukan bermaksud untuk meremehkan arti kuliah sebenarnya, tapi memang itulah cara pandang saya tentang kuliah. Memang sebenarnya banyak nilai tambah dari kita menjadi Sarjana, tapi maaf saya bukanlah orang yang memiliki cara pandang seperti itu.

Menurut saya nilai lebih dari sebuah perkuliahan adalah kita dapat memiliki lebih banyak teman dan bertemu banyak orang yang berbeda-beda sifat dan perilakunya. Dari sekian banyak teman tersebut, saya memiliki seorang teman yang benar-benar fanatic dengan kuliah. Bagi dia kuliah adalah segalanya, kuliah adalah nyawanya. Ya itu adalah hak dia, tapi yang saya bingung dari hal tersebut apa dia sendiri tidak memikirkan bahwa kehidupan bukan cuma bangun pagi ke kampus, duduk mendengarkan kuliah, pulang ke perpus buat tugas dan lain sebagainya, dan saya yakin jika saya menjadi orang seperti itu saya tidak akan bisa menuliskan ini semua kepada anda.

Teman saya yang di mata dosen adalah orang yang sangat ‘istimewa’ itu telah lulus hanya dengan menempuh waktu perkuliahan selama 3,5 tahun dan ber IPK 3,9!!! (what the hell???? Did he human or cyborg???) dari sekarang saya menulis artikel ini dia telah lulus 1 tahun yang lalu dan sekarang saya dapat menemui dia kapan saja di rumahnya dengan kata lain dia masih menjadi penghuni tetap di rumah alias pengangguran. Memang perbandingan seperti itu kecil, juga banyak orang yang sukses dengan gelar Sarjana tersebut. Tapi bagi saya itu adalah sebuah contoh yang sangat menakutkan bagi saya yang ber IPK cuma 2,4.

Saya percaya sekolah terbaik untuk kita bukanlah universitas terkenal dalam dan luar negeri yang mungkin memikirkan biayanya saja lebih dari harga rumah saya beserta perabotannya. Menurut saya sekolah terbaik adalah sekolah kehidupan. Sekolah yang tidak perlu biaya, sekolah yang dapat kita mengenal dunia secara luas, sekolah yang dapat kita memandang sesuatu lebih rasional dan bukan hanya dari sudut pandang buku diktat.

Saya memiliki sahabat yang sedari TK kami satu sekolah hingga SMA. Ya dia orang yang menurut saya jauh lebih hebat dari professor, presiden atau lainnya. Dia orang yang lahir di keluarga yang benar-benar kurang masalah materi di mata teman-teman kami semua. Ibunya hanyalah seorang penjual gorengan dengan pendapat yang tak menentu dalam sehari, ayahnya seorang sales cat yang bekerja jujur dan ulet. Jangankan untuk membayar biaya kuliah, pada saat SMA dia berusaha masuk ke sekolahan yang sama dengan saya. Nilai akademis sangat teramat cukup dan jauh lebih baik dari saya, tapi dia untuk melakukan pendaftaran ulang pun tidak dapat membayarnya. Ya dilematis memang kepandaian dan keadaan ekonomi keluarganya sangat bertolak belakang. Akhirnya salah satu sahabat saya yang berekonomi lebih baik dari kami pun menanggung untuk biaya daftar ulang tersebut. Sama sekali dia tidak terbersit untuk melanjutkan ke jenjang kuliah, dia lebih memilih bekerja.

Dia memulai kariernya bekerja di toko yang mengerjakan service computer, ya sesuatu dari nol, karena dia sama sekali tidak pernah mengerti tentang hal itu sebelumnya. Bekerja disana selama 2 tahun dengan gaji 350.000 sebulan dia dapat membantu ekonomi keluarganya, membantu menyekolahkan adiknya (bayangkan dengan gaji 350.000 dapat melakukan itu semua, mungkin bagi beberapa orang yang beruntung lahir dikeluarga yang mampu secara materi itu hanyalah uang jajan selama satu minggu saja).

Setelah bekerja disana selama 2 tahun akhirnya dia memilih pindah pekerjaan, disinilah semua titik awal hidupnya berubah berangsur membaik. Di tempat barunya dengan bermodal kejujuran, keuletan dalam bekerja akhirnya dia di percaya oleh bos nya untuk menjadi orang yang di percaya. Kepercayaan yang ada tidak pernah di salah gunakan dan kepercayaan itu lah yang membuat sekarang taraf keluarganya jauh lebih baik dibandingkan dulu, dan itu dilakukan oleh orang yang ‘hanya’ lulusan SMA dan memulai mendapat penghasilan ‘hanya’ 350.000 sebulan. Wajarkan sekarang saya mengatakan bahwa dia lebih baik dari presiden, maupun professor?

Dari dua kisah tersebut, saya menganggap kuliah bukanlah sesuatu yang penting tapi harus saya selesaikan (sekali lagi ini murni pendapat saya). Bagaimana saya mungkin menganggap kuliah itu penting, saat saya harus bangun pagi ke kampus mengikuti perkuliahan yang cukup membosankan, dan bahkan tidak jarang jerih payah saya untuk bangun pagi dibayar kekecewaan karena kuliah ditiadakan karena dosen sedang acara rapat atau sebagainya??? Seteleh pembatalan dosen memberikan jam perkuliahan tambahan seenaknya dan mungkin saja pada akhir pekan tanpa berusaha mengerti kalau akhir pekan mungkin itu telah saya akan pergunakan untuk bertemu dengan orang lain yang saya telah berjanji jauh-jauh hari untuk bertemu, itu semua terpaksa saya batalkan karena harus membayar keteledoran yang dosen perbuat???

Bagaimana mungkin saya dapat belajar menghargai waktu, disaat dosen yang berbincang-bincang dengan mahasiswa dengan santai, tapi menolak bertemu dengan mahasiswa yang menghubungi lewat telepon untuk meminta waktu sekedar 15-30 menit untuk bimbingan skripsi????

Bagaimana saya harus menghormati beliau-beliau yang tidak sedikit yang telah memiliki gelar Sarjana maupun Magister, saat wakil dekan kami tidak memberikan ijin mahasiswa (pria) yang mengajukan surat ijin dari dokter yang menyatakan benar-benar butuh waktu istirahat selama 1 minggu dengan melampirkan surat dokter dari rumah sakit yang terlampir??? Dan selang 5 menit kemudian ada mahasiswa (wanita) ijin kepada wakil dekan tersebut dan hanya mengatakan ijin tidak bisa masuk perkuliahan karena sakit perut di berikan ijin tanpa surat dari dokter yang selama ini menjadi prosedur universitas???

Apakah saya harus membayar uang perkuliahan yang cukup menjerat leher, tapi yang saya peroleh diluar diktat buku pelajaran itu adalah pembelajaran dari beliau-beliau yang terhormat dan terpelajar seperti itu???

Beberapa contoh tersebut mungkin hanyalah sebagian contoh kecil dari pengalaman saya di universitas saya, dan mungkin saja hal tersebut juga terjadi di beberapa universitas lain, dan oleh sebab itu kenapa saya menganggap itu bukanlah suatu hal yang penting. Memang tidak semua dosen di kampus saya seperti itu dan bahkan ada beberapa dosen saya yang menjadi panutan hidup saya. Tapi dengan situasi dan keadaan yang saya ceritakan, menurut saya kuliah hanyalah ajang formalitas. Tanpa bermaksud mengesampingkan keingian orang tua saya untuk melihat anaknya menjadi seorang sarjana, tapi pasti orang tua saya jauh lebih bangga ketika saya menjadi seseorang yang benar-benar ‘berhasil’ yang bukan hanya melalui akademis saja dan ‘berguna’ untuk orang lain. Karena saya tidak yakin dengan hanya menjadi sarjana saja dapat membuat saya ‘berhasil’ dan ‘berguna’. Menurut saya untuk memulai seperti itu kita harus memiliki ‘tujuan’, ‘konsistensi’ dalam bertindak dan ‘prinsip’ yang benar dan benar-benar kita jalankan.

Jika yang ada dibenak anda adalah “semudah itukah menjadi orang yang berguna dan berhasil?” kenapa anda tidak coba melaksanakan itu semua dan lihat perbedaan hidup anda. Saya yakin dan percaya anda semua dapat merubah itu semua dari hal yang kecil tersebut. Benar atau tidak nya hal tersebut ada bukti nyata dalam kasus ini dan orang itu telah menjadi bagian team saya yang sama sekali tidak tergantikan. Orang itu adalah Christian Dita Putratama (hal ini dapat anda baca dalam artikel saya yang berjudul ‘tindakan = success , impian = nothink’).

Lalu untuk menjawab pertanyaan ‘Pentingkah kuliah???’ saya menarik sebuah kesimpulan, menurut saya kuliah adalah sebuah keputusan. Keputusan yang entah kita jalanin karena kita melakukannya dengan senang hati karena benar-benar ingin menuntut ilmu maupun karena terpaksa untuk melihat orang tua kita bangga karena kita telah menjadi Sarjana. Saya memiliki pedoman “sebuah keputusan yang telah saya ambil adalah jalan hidup yang akan saya tempuh dan akan saya selesaikan meskipun jalan berliku di depan saya. Tuhan tidak akan menutup mata atas apa yang kita perbuat.” Maka dari itu meskipun saya menganggap kuliah itu bukanlah sesuatu yang penting tapi saya harus menyelesaikannya karena saya telah mengambil keputusan itu.

Bersyukurlah kita yang masih diberikan berkat oleh-Nya untuk mengenyam bangku perkuliahan dan selesaikanlah itu, karena itu adalah tanggung jawab kita terhadap orang tua dan diri kita sendiri dengan tidak melupakan sekolah kehidupan yang kita jalani. Semoga dengan bekal apa yang anda dapat di bangku perkuliahan dan menerapkan ‘tujuan’ , ‘konsistensi’ dan ‘prinsip’ dapat menjadikan anda jauh lebih maju ke depannya. Dan untuk sahabat-sahabatku di luar sana yang memutuskan tidak kuliah ataupun terpaksa tidak berkuliah , sekolah kehidupan jauh lebih memberikan kita pelajaran dan kalian semua tidak perlu merasa berkecil hati karena kalian tidak menjadi Sarjana, tapi berjalanlah dengan kepala terangkat karena kalian dapat menjadi orang yang lebih ‘berhasil’ dan ‘tanpa’ harus memiliki gelar sarjana di nama belakang anda.


sumber : http://crayoncreative.net/forum/

3 komentar:

  1. wow bro artikel anda sangat2 membuatku terharu sebagai seorang tamatan smk yg tdk mampu kuliah, jujur bro selama ini saya sedikit minder dan marah pd diriku sendiri, knpa saya ga bisa? :'( pdhal saya sgt ingin kuliah dan mampu dri segi kemampuan,, kehidupan ku kok seperti ini ,, tp stlah baca tulisan tgn anda aga sedikit apa ya,, agak mendingan tp terharu jg bro :'(

    BalasHapus