Selasa, 19 Juni 2012

Anggun

Semua kelabu. Tak nampak terang meski sinar matahari menerpa dunia. Tak nampak bercahaya semua hingar bingar mewahnya lampu perkotaan. Semua terkesan bagai menjauh dari kehidupanku. Semua sekarang sedang bergerak dengan vektor y+ sementara aku melaju di koordinat y-, menghasilkan resultan yang hampa, 0. Di fikiranku, hanya tergambar ilustrasi abstrak yang tak bisa dipecahkan dengan berbagai teorema klasik.
Di tengah tengah lamunanku,

“ Gus, sabtu ada kuliah tambahan ngga ? “

“ Gus, lo budeg ya ? ditanyain malah ga jawab “

“ Ha ? Oh, apa apa ? maaf maaf “

“ sabtu ada kuliah tambahan ngga nih ? soalnya kl ga ada, gue mau ngajak lo sama temen-temen hang out , biasalah refreshing abis UTS “

“ kayaknya ga ada deh, soalnya Pak dosen nya ga ngabari gue “

Secara, aku adalah ketua angkatan di fakultas ku, jadi apapun hal-hal yang berkaitan dengan akademik menjadi tanggung jawabku.

Tak dapat kupungkiri, konsentrasi terpecah , fikiran terbelah dengan segala tanggung jawab yang harus ku emban, dan segala kepahitan hidup yang sekarang sedang kuhadapi. Akhirnya, temanku, Doni, punya inisiatif untuk ngajak teman-teman seangkatan pergi ke Puncak.

“ Nice place for me “, pikirku. Melepas sejenak semua beban fikiran, menuju satu titik temu. Kebebasan.
Setelah packing dan bersibuk ria menyiapkan segala hal dengan teman-teman, akhirnya kita berangkat.

Sesampainya disana ,
“Subhanallah, Kuasa-Mu ya Allah menciptakan tempat yang indah ini”, kataku.

Lainnya segera bergegas untuk menggelar tenda dan menyiapkan segala hal untuk acara angkatan kami malam nanti.

Malam harinya,
 “ Bonfire Time ! “ teriak Doni dari kejauhan.

Semua mengerumuni api unggun dengan berbagai kostum yang bertemakan, “ Hug me, Warmness ! “ .

“Ayo, siapa nih yang mau nyanyi, nih gue iringin gitar “ tanya Koko, Kadiv Akademik di fakultas.

“ Si, Bagus tuh yang jago nyanyi “, seru teman-teman yang lain.

Semua langsung berlomba-lomba memanggil namaku, sekeras-kerasnya, sekencang mungkin meskipun tak mendapatkan apa-apa dariku, setidaknya untuk menyemangatiku.  Dengan malu-malu, kusiapkan mentalku, kusiapkan udara yang akan membantu pita suaraku untuk bergetar secara harmonis.

“ kita nyanyi bareng-bareng aja ya ! “ kata ku.

Head voice, Chest voice, falset, improvisasi, blablabla untuk kali ini tak ku hiraukan , yang penting kita semua menyatu, membaur dan bernyanyi bersama.

Gitar pun mulai menggelitiki telingaku dengan rabaan resonansi nya, petikan si koko yang mulai mengalun luwes mencirikan dia adalah gitaris yang lumayan handal. Dan kini aku bersiap untuk bersenandung.

Heart beats fast
Color and promises
How to be brave
How can i love when i’m afraid to fall
.....
Sementara kami bersenandung, kutangkap sebuah pandangan yang seketika itu juga membuatku fokus dengan itu. Dan ini kesalahan terbesar dari ketua angkatan sepertiku, tidak mengenal dengan baik seluruh teman seangkatan. Kulihat, sosok asing, di barisan wanita, bersenandung bersama teman-temannya yang lain. Dia berbeda dari yang lain. Iya, dia terlihat sangat berbeda. Dengan kehalusan suara yang dia punya, dengan senyum penuh ketulusan yang aku tangkap, dan dengan hijab yang memperindah penampilannya, satu kata yang pantas aku sarangkan kepadanya, Anggun. Iya, Anggun.

Aku pun bersenandung dengan semangat lebih, dan pandanganku teatap berfokus kepadanya, meski terkadang aku harus mengelak ketika ketahuan memandanginya.

“ lo kok ngeliatin si Tina mulu sih? “, gertak Koko yang langsung mengubah warna kupingku menjadi merah.

“ Ha ? siapa, si Tina ? engga kok, itu tuh, tadi ada kelelawar yang bikin sarang di pohon itu” elak ku.
Seketika itu juga aku tahu namanya.

“ Tina, bagus juga namanya “ pikirku.

Dan semenjak acara api unggun itu, aku tak bisa berfikiran lain selain memikirkan Tina. Dan secara spontan, mulutku bersenandung,
I have died everyday waiting for you
Darling don’t be afraid I have loved you
For a thousand years
I love you for a thousand more
. . .
Semua masa-masa suramku berubah. Semua kelabu yang pernah hinggap di benakku perlahan sirna. Bagai fajar yang siap menyongsong pagi. Vektor y+ pun bertranslasi ke y-, melaju bersamaku. Apakah ini memang lembaran baruku yang harus kujalani sekarang? Dan pertanyaan besar pun menggelitik, apakah aku mampu memilikinya dan menjadikan dia pendamping hidupku di masa depan?

Entahlah, tapi sekarang, dia telah berhasil mengubah kehidupanku yang sekarang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar