Minggu, 12 Februari 2012

Ambigu


Ambigu. Iya, ambigu. Seperti membaca novel, tetapi kemudian lupa apa isi novel tersebut, lupa akan apa drama dari cerita di novel itu, lupa akan betapa hebatnya karakter yang diperankan oleh tokoh dalam novel tersebut. Namun aku ingat satu hal bahwa novel itu indah. Iya, yang kurasakan hanya itu, indah.


Temaram lampu lilin di malam itu menambah ekspresi alam yang meneguhkan pendirian angin akan pelukan dinginnya. Bintang-bintang yang terus saja menghilang ditelan keganasan cahaya bumi yang menengadah angkuh, hanya berhiaskan bulatan putih yang siap tampil di ganasnya sang kegelapan. Gelap, iya gelap. Tanpa dia yang dulu pernah menjadi bintang, yang tegak menghancurkan keangkuhan beribu cahaya bumi, berpijar, bersinar mengalahkan pesona sang rembulan.

Hembusan angin pun perlahan sirna seketika. namun tetap saja yang kurasakan saat ini hanyalah dingin. Iya, dingin. Dingin bukan hanya karena nakalnya udara malam yang seakan menggoda, tetapi juga karena ada perasaan yang hingga kini menghujam hati. Perasaan yang tak bisa dipecahkan dengan rumus matematika, maupun eksperimen handal sekalipun. Tak bisa mudah begitu saja diungkap seperti kasus pembunuhan. Perasaan itu sekarang dingin. Menerjang diriku, menghempas bagai ombak laut yang terus menerus memecah karang. Tapi hatiku bukan sekeropos karang, bukan. Bukan seperti kayu usang yang menjadi lapuk karena dimakan rayap-rayap. Entah. Sedingin itu kah ? sekuat itukah ? atau hanya se elastis karet.

Memandang ke atas semakin menguatkan perasaan khayalku, imajiku ke dalam kenyataanku. Kenyataanku yang hampir pasti tak dapat aku raih, lagi. Memandang ke bumi semakin menguatkan perasaanku bahwa aku semakin jatuh, jatuh ke dalam pelik yang tak ada habisnya. Tapi semoga,ketika aku berdiri tegak dan memandang ke depan, semoga ada secercah harapan yang menantikan aku disana. Bagai sepercik cahaya yang tiada habis padam untuk setia menunggu. Menunggu untuk menghadapi berbagai kegelapan yang akan dihadapi. Menjadi penerang jalan menuju suatu tempat, tempat dimana senyum menanti, senyum kebahagiaan yang tak henti-hentinya menghiasi rona wajah, dia. Iya, dia.

Berharap keajaiban itu terjadi seperti menantikan hujan di musim kemarau. Bagaikan fatamorgana siang terik. Menampakkan keindahan yang berujung pada kehampaan. Iya, hampa. Kehampaan berhasil merenggut seluruh isi hatiku. Bagaikan dementor di Harry Potter, semua perasaan bahagia itu direnggutnya hingga lenyap. Yang tersisa hanya kepedihan, sakit dan air mata. Air mata kesedihan. Tak pernah bisa berfikir untuk sampai pada tahap ini sebelum akhirnya semuanya memang terjadi. Dan kenyataan berkata demikian. Tak ku sangka.
Kamera alami dari diri manusia yang kau punyai itu, hanya bisa aku ungkap dengan satu kata, mempesona. Paling indah dari yang pernah aku lihat. Paling ambigu dari yang aku fikirkan. Kamera manapun tak kan sanggup menggantikan keindahannya. Aku duduk di keheningan malam, ditemani hitamnya pepohonan sekeliling. Iya, hijau yang biasa alam tampilkan itu seketika hitam ditelan malam yang ganas. Tapi itu tak berguna untuk dirimu. Malam pun tak kuasa membuat pesonamu hilang. Tak membuat ambigu mu sirna.

Tapi, rasa pupus itu sudah tak bisa dibendung lagi. Seolah seperti lava yang siap dimuntahkan gunung berapi, meledak, memancarkan emosi yang meledak, merah, panas, dan berakhir dengan bencana. Air mata kesedihan. Apalagi untuk mengharapkan sesuatu yang hampir tidak dapat diraih, bagaikan akan membeli sebuah novel yang indah, tetapi tak bisa aku dapatkan. Tak sanggup aku sentuh. Hanya bisa aku pandang hampa. Bukan karena tidak punya cukup uang untuk membeli itu, tapi karena novel itu sudah ada dalam genggaman orang lain. Genggaman yang membuatku lepas, tak sanggup lagi mendapatkannya. Tapi aku sadar, aku masih bisa melihat indahnya novel itu. Meskipun hanya sekadar melihat, tapi aku bahagia, novel itu seakan ikut tersenyum kepadaku. Sungguh.

Aku pun berjalan di kegelapan malam. Perasaan khayalan itu terus melayang jauh sampai terwujud hampir menjadi suatu kenyataan. Ingin ku berteriak Eureka ! untuk merayakan kebahagiaan itu, tapi dengan cepat aku sadar, itu hanya ilusi. Iya, ilusi. Membayangkan untuk kembali seperti dahulu, letupan kebahagiaan yang terpancar dari senyum wajahmu. Senyum yang sampai saat ini, hanya bisa aku katakan, ambigu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar